Kehidupan dan Pembelajaran
Al-Farabi
berpakaian rapi sejak kecil. Ayahnya seorang opsir tentara Turki keturunan
Persia, sedangkan ibunya berdarah Turki asli. Sejak dini ia digambarkan
memiliki kecerdasan istimewa dan bakat besar untuk menguasai hampir setiap
subyek yang dipelajari. Pada masa awal pendidikannya ini, al-Farabi
belajar al-Qur’an, tata bahasa,
kesusasteraan, ilmu-ilmu agama (fiqh, tafsir dan ilmu hadits) dan aritmatika dasar.
Al-Farabi muda
belajar ilmu-ilmu islam dan musik di Bukhara, dan tinggal
di Kazakhstan sampai umur 50. Ia pergi ke Baghdad untuk
menuntut ilmu di sana selama 20 tahun.
Setelah kurang
lebih 10 tahun tinggal di Baghdad, yaitu
kira-kira pada tahun 920 M, al Farabi kemudian mengembara
di kota Harran yang
terletak di utara Syria, di mana saat
itu Harran merupakan pusat kebudayaan Yunani di Asia kecil. Ia kemudian
belajar filsafat dari Filsuf Kristen terkenal yang bernama Yuhana bin Jilad.
Tahun 940 M, al Farabi melajutkan
pengembaraannya ke Damaskus dan
bertemu dengan Sayf al Dawla al Hamdanid, Kepala daerah (distrik) Aleppo, yang dikenal
sebagai simpatisan para Imam Syi’ah. Kemudian al-Farabi wafat di kota Damaskus
pada usia 80 tahun (Rajab 339 H/ Desember 950 M) pada masa pemerintahan
Khalifah Al Muthi’ (masih dinasti Abbasiyyah).
Al-Farabi
adalah seorang komentator filsafat Yunani
yang ulung di dunia
Islam. Meskipun kemungkinan besar ia tidak bisa berbahasa
Yunani, ia mengenal para filsuf Yunani;Plato, Aristoteles dan Plotinus dengan
baik. Kontribusinya terletak di berbagai bidang seperti matematika, filosofi, pengobatan, bahkan musik. Al-Farabi telah menulis berbagai
buku tentang sosiologi dan
sebuah buku penting dalam bidang musik, Kitab al-Musiqa. Selain
itu, ia juga dapat memainkan dan telah menciptakan bebagai alat musik.
Al-Farabi
dikenal dengan sebutan "guru kedua" setelah Aristoteles, karena
kemampuannya dalam memahami Aristoteles yang dikenal sebagai guru pertama dalam
ilmu filsafat.
Dia adalah
filsuf Islam pertama yang berupaya menghadapkan, mempertalikan dan sejauh
mungkin menyelaraskan filsafat politik Yunani klasik dengan Islam serta
berupaya membuatnya bisa dimengerti di dalam konteks agama-agama wahyu.
Al-Farabi hidup
pada daerah otonomi di bawah pemerintahan Sayf al Dawla dan di zaman
pemerintahan dinasti Abbasiyyah, yang berbentuk Monarki yang
dipimpin oleh seorang Khalifah. Ia lahir
dimasa kepemimpinan Khalifah Mu’tamid (869-892 M) dan meninggal pada masa
pemerintahan Khalifah Al-Muthi’ (946-974 M) di mana periode tersebut dianggap
sebagai periode yang paling kacau karena ketiadaan kestabilan politik.
Dalam kondisi
demikian, al-Farabi berkenalan dengan pemikiran-pemikiran dari para ahli Filsafat Yunani
seperti Plato dan Aristoteles dan
mencoba mengkombinasikan ide atau pemikiran-pemikiran Yunani Kuno dengan
pemikiran Islam untuk menciptakan sebuah negara pemerintahan yang ideal (Negara
Utama).
Buah Pemikiran
Karya
Selama
hidupnya al Farabi banyak berkarya. Al Farabi juga mengembangkan dan
mempelajari ilmu Fisika, Matematika, Etika, Filosofi, Politik, dan sebagainya.
Bidang lain: Sociology, Logic, Philosophy, Political Science, Music.
1.
Logika
2.
Ilmu-ilmu Matematika
3.
Ilmu Alam
4.
Teologi
5.
Ilmu Politik dan kenegaraan
6.
Bunga rampai (Kutub Munawwa’ah).
Karyanya yang
paling terkenal adalah Al-Madinah Al-Fadhilah (Kota atau
Negara Utama) yang membahas tetang pencapaian kebahagian melalui kehidupan
politik dan hubungan antara rejim yang
paling baik menurut pemahaman Plato dengan hukum Ilahiah islam. Filsafat
politik Al-Farabi, khususnya gagasannya mengenai penguasa kota utama
mencerminkan rasionalisasi ajaran Imamah dalam Syi'ah.
Pemikiran tentang Asal-usul
Negara dan Warga Negara
Menurut
Al-Farabi manusia merupakan warga negara yang
merupakan salah satu syarat terbentuknya negara. Oleh karena manusia tidak
dapat hidup sendiri dan selalu membutuhkan bantuan orang lain, maka manusia
menjalin hubungan-hubungan (asosiasi). Kemudian, dalam proses yang
panjang, pada akhirnya terbentuklah suatu Negara. Menurut Al-Farabi, negara
atau kota merupakan
suatu kesatuan masyarakat yang paling mandiri dan paling mampu memenuhi
kebutuhan hidup antara lain: sandang, pangan,papan, dan keamanan, serta mampu
mengatur ketertiban masyarakat, sehingga pencapaian kesempurnaan bagi
masyarakat menjadi mudah. Negara yang warganya sudah mandiri dan bertujuan
untuk mencapai kebahagiaan yang nyata , menurut al-Farabi, adalah Negara Utama.
Menurutnya,
warga negara merupakan unsur yang paling pokok dalam suatu negara. yang
diikuti dengan segala prinsip-prinsipnyaprinsip-prinsipnya (mabadi) yang berarti dasar, titik awal,
prinsip, ideologi, dan konsep dasar.
Keberadaan
warga negara sangat penting karena warga negaralah yang menentukan sifat, corak serta jenis
negara. Menurut Al-Farabi perkembangan dan/atau kualitas negara ditentukan
oleh warga negaranya. Mereka juga berhak memilih seorang pemimpin
negara, yaitu seorang yang paling unggul dan paling sempurna di antara mereka.
Negara Utama
dianalogikan seperti tubuh manusia yang sehat dan utama, karena secara alami,
pengaturan organ-organ dalam tubuh manusia bersifat hierarkis dan sempurna..
Ada tiga klasifikasi utama:
·
Pertama, jantung. Jantung
merupakan organ pokok karena jantung adalah organ pengatur yang tidak diatur
oleh organ lainnya.
·
Kedua, otak. Bagian peringkat
kedua ini, selain bertugas melayani bagian peringkat pertama, juga mengatur
organ-ogan bagian di bawahnya, yakni organ peringkat ketiga, seperti :
hati, limpa, dan organ-organ reproduksi.
·
Organ bagian ketiga. Organ
terbawah ini hanya bertugas mendukung dan melayani organ dari bagian atasnya.
Al-Farabi
membagi negara ke dalam lima bentuk, yaitu:
1. Negara Utama (Al-Madinah Al-Fadilah): negara yang dipimpin oleh para
nabi dan dilanjutkan oleh para filsuf; penduduknya merasakan kebahagiaan.
2. Negara Orang-orang Bodoh (Al-Madinah Al-Jahilah): negara yang
penduduknya tidak mengenal kebahagiaan.
3. Negara Orang-orang Fasik: negara yang penduduknya mengenal kebahagiaan,
tetapi tingkah laku mereka sama dengan penduduk negara orang-orang bodoh.
4. Negara yang Berubah-ubah (Al-Madinah Al-Mutabaddilah): pada awalnya
penduduk negara ini memiliki pemikiran dan pendapat seperti penduduk negara
utama, namun kemudian mengalami kerusakan.
5. Negara Sesat (Al-Madinah Ad-dallah): negara yang dipimpin oleh orang
yang menganggap dirinya mendapat wahyu dan kemudian ia menipu orang banyak
dengan ucapan dan perbuatannya.
Pemikirannya Tentang Pemimpin
Dengan prinsip
yang sama, seorang pemimpin negara merupakan bagian yang paling penting dan
paling sempurna di dalam suatu negara. Menurut Al Farabi, pemimpin adalah
seorang yang disebutnya sebagai filsuf yang berkarakter Nabi yakni orang yang
mempunyai kemampuan fisik dan jiwa (rasionalitas dan spiritualitas).
Disebutkan
adanya pemimpin generasi pertama (the first one – dengan segala
kesempurnaannya (Imam) Selanjutnya al-Farabi
mengingatkan bahwa walaupun kualitas lainnya sudah terpenuhi , namun kalau
kualitas seorang filsufnya tidak
terpenuhi atau tidak ambil bagian dalam suatu pemerintahan, maka Negara Utama
tersebut bagai “kerajaan tanpa seorang Raja”. Oleh karena itu, Negara
dapat berada diambang kehancuran. dan karena sangat sulit untuk ditemukan
(keberadaannya) maka generasi kedua atau generasi selanjutnya sudah cukup, yang
disebut sebagai (Ra’is) atau pemimpin golongan
kedua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar